"Kisah Misteri yang Tercecer dari Timor Timur"


Apa jadinya, jika akibat berbagai sebab, anak terpisah dari orang tua dan lingkungan sosialnya?
Apa jadinya jika pemisahan tersebut  melibatkan ribuan anak, yang dilakukan secara sengaja,
baik karena terpaksa, bujukan atau dipaksa oleh pihak lain?
SENTOSA88 - Kisah itulah yang diangkat dalam buku berjudul “Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam.”  Buku ini ditulis oleh Helene van Klinken dari disertasi yang disusunnya di University of Queensland – Australia tahun 2009, dari hasil penelitiannya selama dua tahun (2003-2004), dibawah bimbingan Professor Robert Elson. Judul asli dari buku ini adalah “Making Them Indonesians: Child Transfer Out Of East Timor” yang diterbitkan Monash University Publishing tahun 2012. Helene sendiri merupakan istri dari Gerry van Klinken, seorang Indonesianis kelahiran Belanda dan mengajar di Australia.
Menurut pengakuannya, Helene menulis mengenai pemindahan anak-anak keluar Timor-Timur diinspirasi oleh masalah besar di negaranya sendiri, yaitu yang disebutnya sebagai “generasi yang hilang” (Stolen Generations) anak-anak Aborigin di Australia. Anak-anak tersebut dicabut dari akar keluarga dan budayanya dan dipaksa tinggal di panti-panti asuhan di sana. “Kebijakan” tersebut baru berakhir di tahun 1960-an.
Kisah pemindahan anak kerap diabaikan dalam sejarah-sejarah nasional, yang umumnya hanya diisi oleh kisah heroik dari mereka yang dianggap menjadi bagian dari gerakan perlawanan, diantaranya seperti Gusmão (2000), Carey (2003), Cristalis dan Scott (2005), Rei (2007) dan Conway (2010). Kisah mengenai pemindahan anak-anak yang rentan keluar Timor-Timur juga jarang diungkap.  Selain itu, sangat sedikit kajian dan informasi mengenai bagaimana kisah orang-orang Timor-Timur dalam hubunganya dengan orang Indonesia, khususnya mereka yang tidak dianggap menjadi bagian langsung dari gerakan perlawanan tadi.
Padahal, diperkirakan ada sekitar 4.000 anak-anak kecil Tim-Tim yang dipindahkan ke Indonesia antara 1975 –1999. Jika mengacu pada laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste/CAVR), pada 2006 ada 4.534 anak yang kemungkinan telah dipindahkan ke Indonesia pada 1975 hingga 1999. Angka itu berdasarkan kasus yang dilaporkan kepada Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Namun, sesungguhnya tidak ada data dan sumber informasi yang pasti mengenai masalah pemindahan anak-anak dari Timor Timur tersebut. Karenanya, penelitian Helene lebih mengandalkan sumber-sumber lisan dari para orang tua, keluarga, pihak gereja, aktivis dan lembaga kemanusiaan, dll. Helene mewawancarai sekitar 32 orang tua atau sanak-saudara anak-anak yang dibawa ke Indonesia. Banyak dari mereka masih mencari anak-anaknya yang hilang. Dia juga mewawancarai lebih dari 30 orang Timor Leste yang mengalami pemindahan paksa ke Indonesia ketika masih kecil. Sebagian besar dari mereka sudah kembali ke Timor Leste, tapi ada juga yang memutuskan tetap berada di Indonesia. Sebagian kecil masih mencari keluarganya.  Helene juga melakukan riset ke banyak tempat di Indonesia seperti beberapa panti asuhan di Bandung dan Makassar, juga di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Kupang, dan Atambua.
Helene sendiri memilih untuk menggunakan istilah “pemindahan” yang menurutnya mencakup kejadian anak-anak yang “dibawa” dan “dikirimkan” ke Indonesia, atau “dipisahkan” dan “diculik” dari Timor Timur. Secara sadar Helene tidak menggunakan istilah generik ‘”trafficking” yang digunakan oleh PBB untuk menyebut semua bentuk pemindahan anak di bawah usia 18 tahun. Menurutnya, apa yang terjadi di Timor Timur tidak dapat digeneralisir sebagai sebuah kejahatan: “Sejarah pemindahan ini bukanlah kisah yang sederhana, juga tidak bisa digambarkan secara hitam putih. Sebagian anak-anak tidak dibawa karena keinginan mereka, sementara lainnya diselamatkan dari kematian; sebagian orangtua dipaksa dan ditipu untuk memberikan anak mereka, sementara lainnya menyetujui pemindahan anak mereka; sebagian anak-anak diperlakukan sebagai anggota keluarga oleh orang yang membawa mereka, sementara lainnya harus bekerja untuk keluarga angkat mereka, kadang-kadang dalam keadaan seperti budak.”
Dari hasil penelusurannya, Helene menyimpulkan bahwa, pelaku pemindahan anak-anak dari Timor Timur adalah perorangan, lembaga dan institusi negara seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan institusi keagamaan. Kebanyakan kasus pengangkatan anak yang ditemukan Klinken dilakukan oleh tentara Indonesia. Meskipun sebagian besar tidak melalui prosedur yang benar, dan tentu saja tidak tercatat.
Kisah Biliki:
Biliki, lahir tahun 1969, dan karena suatu alasan harus tinggal bersama keluarga pamannya. Pada saat “kedatangan” tentara Indonesia tahun 1975, Biliki sempat bersembunyi di hutan sampai tahun 1978. Tinggal di barak pengungsian, sampai kemudian ada salah seorang Kopassus membawanya ke Dilli. Sempat beberapa kali berusaha melarikan diri namun gagal. Sampai kemudian si tentara Kopassus telah selesai masa dinasnya dan kembali ke Indonesia. Baliki juga dibawa pulang naik pesawat ke Indonesia, dan tinggal di kompleks Kopassus di Cijantung-Jakarta. Biliki kemudian diserahkan ke salah satu keluarga Kopassus lain di kompleks tersebut. Biliki merasa sangat tidak bahagia dengan penculikan tersebut. Terlebih keluarga yang menampungnya juga memiliki banyak anak dan kadang berlaku kejam kepadanya. Sampai kemudian Baliki bertemu dengan keluarga lain yang mau menampung dan bahkan menyekolahkannya. Saat ini Baliki sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Sampai kemudian, setelah tahun 1999, Baliki berusaha mencari informasi mengenai keluarganya di Timor-Timur. Dengan bantuan beberapa lembaga kemanusiaan, Baliki dapat bertemu dengan keluarganya disana. Namun kemudian Baliki menyadari bahwa dia sulit untuk kembali ke Timor-Timur, karena keluarganya yang sekarang ada di Indonesia. Baliki pada kenyataannya sudah terlalu di-Indonesia-kan, dan sudah menjadi orang Indonesia.
Helene juga menyimpulkan bahwa motivasi mereka yang melakukan pemindahan anak-anak tersebut sangatlah beragam:  “Orang-orang yang membawa anak-anak ini bertindak karena dorongan yang bermacam-macam dan berbeda-beda -- mulai dari rasa kasih sayang yang sungguh-sungguh dan niat baik sampai manipulasi tak berbelaskasih dan memanfaatkan anak-anak rentan itu untuk tujuan ekonomis, politis, dan ideologis.” Meskipun menurut Helene, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada orang Timor Leste yang secara sukarela menyerahkan anak-anak mereka pada pihak lain. Kalaupun terpaksa, mereka akan menyerahkan anak-anak itu kepada keluarga atau pada gereja Katolik. Banyak diantara keluarga di sana saat itu yang merawat belasan bahkan ada yang sampai 20 anak-anak dari kerabatnya yang terlantar akibat konflik berkepanjangan. Sebagai ilustrasi, pada Tahun 1985/1986, ada sekitar 40.000 anak terlantar dari jumlah penduduk sekitar 650 ribu jiwa di Timor Timur.
Masalah utamanya adalah, hampir semua anak-anak yang dipindahkan yang tersebut sesungguhnya masih rentan karena secara usia masih sangat muda, dan tidak dapat hidup tanpa pengawasan keluarganya. Kala itu, banyak anak yang terpisah dari keluarganya dan terlantar. Sebagian merupakan  anak-anak yatim piatu dan miskin. Ada pula anak-anak dari keluarga anggota FRETILIN yang dianggap musuh negara Indonesia. Banyak anak-anak tersebut yang diambil karena memang tidak ada keluarga yang mengakui dan melindungi mereka. Banyak pula yang diambil lewat bujukan dan paksaan kepada orang tua, wali atau keluarganya. Sebagian keluarga memang membutuhkan barang-barang bantuan dari tentara, sebagian lagi mengaku karena takut untuk menentang “tawaran” dari kalangan tentara tersebut.
Banyak orang tua yang asli yang kemudian (di kemudian hari) merasa dibohongi, karena umumnya mereka merasa bahwa anak-anak tersebut suatu saat akan dikembalikan pada mereka. Namun pada kenyataannya, anak-anak tersebut bukan saja tidak kembali, bahkan terputus hubungan sama sekali dengan keluarganya. Namun menurut Helene sangatlah sulit untuk membuat penilaian mengenai tingkat keterpaksaan para orang tua di Timor Timur saat itu. Kemiskinan, kesulitan mencari keluarga dekat yang dapat dititipi anak, ancaman keselamatan dan tingginya tingkat ketidakpastian hidup akibat konflik, kebaikan personal dari sebagian orang Indonesia termasuk dari kalangan tentara yang bertugas di sana, merupakan sebagian kondisi faktual yang mereka hadapi saat itu.
Sadisnya, dalam penelitiannya Helene mendapat laporan dari banyak saksi mata bahwa banyak anak-anak tersebut yang dimasukkan ke peti besar oleh tentara Indonesia lalu diangkut dengan kapal yang akan pulang ke Indonesia. Mereka dimasukkan ke peti agar dianggap sebagai barang bawaan untuk menghindar pemeriksaan polisi militer karena tentara dilarang mengangkat anak (yatim piatu) tanpa ada surat yang ditandatangani oleh bupati.
Pada akhirnya, anak-anak yang dipindahkan tersebut berakhir menjadi anak pungut atau anak angkat, dan sekitar setengah dimasukkan ke panti-panti asuhan dan pesantren di Indonesia. Helene mengisahkan bagaimana pada tahun 1970-an salah satu yayasan Soeharto menyelenggarakan pengiriman 61 anak yatim piatu Timor Timur untuk diasuh dan disekolahkan. Anak-anak ini kemudian didatangkan ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana – Jakarta. Pertemuan tersebut menjadi simbolis yang dipanggungkan di media massa Indonesia dan dunia. Sebagian anak-anak tersebut kemudian dikirim ke Panti Penyantunan Anak Taruna Negara (PPATN) di Bandung, Panti Asuhan Kinderdorf di Bandung, dan Panti Asuhan Santo Thomas di Semarang. Selain panti asuhan juga ada yang dititipkan ke pesantren.
Selain itu, dalam wawancaranya dengan TEMPO, Helene juga menceritakan bahwa banyak dari anak-anak itu kemudian dimasukkan ke pesantren, dan beberapa tahun kemudian berganti nama Islam, bahkan memeluk Islam. Helene memberi contoh dua anak perempuan kakak-beradik Olinda Soares dan Amelia Soares, misalnya, diganti nama menjadi Siti Khodijah dan Aminah. Anak-anak Timor Timur yang dididik dan dibesarkan di pesantren, menurut Helene, suatu waktu diharapkan bisa menyebarkan Islam di Timor Timur. Menurut Helene, mereka dipersiapkan menjadi pendakwah untuk meningkatkan jumlah populasi orang Islam di Timor Timur.
Dari hasil penelitiannya, Helene menemukan bahwa ada anggapan di kalangan tentara Indonesia saat itu bahwa membawa pulang seorang anak Timor Timur menjadi sebuah bukti keberhasilan menguasai Timor Timur. Para tentara itu--dari hasil penelitian Helene--kepada kawan dan tetangganya menyatakan bahwa anak-anak yang mereka bawa adalah anak-anak pejuang Timor Timur yang mati terbunuh saat bertempur melawan partai kiri FRETILIN. Mereka adalah anak pahlawan-pahlawan Timor yang telah berjuang mati demi keinginan integrasi dengan Indonesia. Padahal banyak yang sebaliknya. Justru mereka adalah anak-anak yang kehilangan bapak atau sanaknya karena operasi tentara Indonesia.
Yang tidak boleh diabaikan adalah bagaimana anak-anak itu dipaksa hidup di lingkungan yang sama sekali baru buat mereka. Sulit membayangkan bahwa anak-anak tersebut bahagia sepenuhnya dengan peristiwa yang mereka alami. Menurut Helene, ada sebagian yang justru mengalami diskriminasi bahkan pelecehan seksual dari orang-orang yang “menolong” mereka tersebut. Kekerasan fisik dan psikologis tersebut berpuncak pada dilema psikologis yang mereka hadapi. Ada seorang anak yang setelah dewasa baru menyadari bahwa orang tuanya  bukan orang tua sebenarnya. Justru yang paling sulit secara kejiwaan adalah anak-anak yang memiliki pengalaman baik dengan keluarga angkatnya dan kemudian menyadari bahwa orang tuanya yang selama ini membesarkan dengan kasih sayang ternyata adalah bagian dari korps yang membunuh orang tua aslinya. Secara sosiologis, anak-anak tersebut telah mengalami pemaksaan asimilasi dan eksklusi sosial (proses yang menghalangi seseorang atau kelompok untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial secara utuh), serta kekerasan fisik dan psikologis yang sangat kompleks.
 
Dari besarnya jumlah anak yang dipindahkan serta adanya keterlibatan lembaga pemerintah Indonesia, pada akhirnya Helene menyimpulkan bahwa ada sifat sistematis dari pemindahan anak-anak Timor-Timur ke Indonesia. Militer yang membawa jelas turut terlibat. Banyak panti asuhan yang nyatanya tidak tahu-menahu tentang status sebenarnya dari anak.”  Selain itu, menurutnya juga ada kesamaan tujuan politis dan ideologis -- meskipun tidak identik -- antara pemegang kekuasaan di Timor-Timur  dan Australia yang memindahkan anak-anak dari lingkungan asalnya. “Pemerintah Australia mau mengasimilasi anak-anak Aborigin ke dalam masyarakat kulit putih Kristen yang dominan; tujuan penguasa Indonesia adalah sama-sama mengintegrasikan anak-anak Timor-Timur, dan membuat mereka menjadi orang Indonesia.”
Helene juga menyimpulkan, bahwa pemindahan sekitar 4.000 anak yang masih kecil dan tergantung dari Timor Timur ke Indonesia selama periode 1975 – 1999 tersebut, merupakan salah satu bentuk dari bagaimana kekuasaan hegemonis menggunakan anak-anak untuk tujuan menguasai kelompok subordinat tertentu, di mana anak-anak itu dianggap menjadi bagian dari kelompok tersebut. “Tujuan pemindahan anak-anak tersebut ke Indonesia membungkus tujuan proyek integrasi dan niat pihak berwenang Orde Baru untuk semua orang Timor Timur yang mereka anggap seperti anak-anak –yaitu, membuat mereka menjadi orang Indonesia.”
Helene berharap masalah ini dapat dikaji dengan lebih mendalam, dengan menggunakan data dan informasi dari pemerintah Indonesia, khususnya dari pihak internal militer Indonesia. Tujuannya selain untuk lebih memberi pemahaman bagi semua pihak, juga membantu untuk menyatukan kembali hak-hak mereka (anak dan keluarganya) yang hilang akibat pemindahakan tersebut. Lebih jauh, bahkan mungkin dapat dilakukan pengusutan dan pengadilan terhadap personil-personil militer yang menculik paksa anak-anak tersebut, seperti pernah terjadi pada pengadilan kasus penculikan oleh aparat militer di pengadilan Argentina.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »