Tapi, ada sejumlah kota yang lenyap namun terus membawa kisah kebesarannya dari masa lalu.
Dikutip dari Atlas Obscura pada Rabu (6/4/2016), buku terbaru sang penulis, Atlas of Lost Cities: A Travel Guide to Abandoned and Forsaken Destinations, bercerita tentang beberapa kota yang hilang dari empat benua.
Walau tidak setenar Pompeii dan Angkor Wat, kota-kota yang raib itu memiliki daya tarik unik dan ciri masing-masing. Apalagi ditambah dengan ilustrasi yang indah oleh Karin Doering-Froger. Nah, inilah kota-kota yang dimaksud:
1.TIKAL GUATEMALA
Saat ini, kota Tikal hanya sekedar kumpulan puing berselimutkan tumbuh-tumbuhan. Tapi, pada masa jayanya, kota ini dihuni 500 orang dan menjadi jantung peradaban Maya (250-900 M).
Dua piramida yang paling kentara adalah dua buah kuil yang saling berhadapan dan sejumlah arkeolog bahkan menduga para imam saling berkomunikasi dari puncak masing-masing piramida.
Sepertinya dugaan ini tidak mengejutkan karena salah satu terjemahan kata ‘Tikal’ adalah ‘tempat suara-suara’.
Peradaban yang makmur ini ditinggalkan secara tergesa-gesa pada Abad ke-10, diduga karena adanya kekeringan atau masalah iklim lainnya yang menghabiskan sumber daya setempat. Sekarang ini, “tempat suara-suara” itu sepi seperti kuburan.
2. Centralia, negara bagian Pennsylvania, AS
Jauh di dalam jantung negara bagian Pennsylvania, ada sumber api abadi yang tetap menyala selama lebih dari 50 tahun.
Kota yang nyaris menjadi kota hantu ini dulunya adalah area pertambangan berpenduduk padat hingga akhirnya musah dalam kebakaran tahun 1962 oleh api yang tidak padam hingga sekarang.
Kala itu, jelang Memorial Day, sejumlah pegawai pemkot membakar setumpuk sampah dekat tempat pemakaman kota. Api itu menjalar ke sejumlah tambang batubara yang terhubung hingga ke bawah tanah wilayah kota. Tamatlah riwayat kota itu.
Api itu tadinya tidak ketahuan, tapi menyebabkan sejumlah gangguan selama beberapa bulan ke depan. Salah satunya adalah semburan-semburan gas karbon monoksida melalui sejumlah rekahan tanah.
Beberapa dekade sesudahnya, seorang anak lelaki nyaris tertelan ke dalam kobaran ganas ketika tanah di bawah kakinya runtuh.
Kejadian-kejadian ini menjadi dasar keputusan oleh pihak yang berwenang, baik lokal maupun federal, untuk mengungsikan seluruh kota itu. Pada tahun 2002, kode pos kota itu pun dihapus.
Kobaran apinya sendiri diperkirakan akan tetap menyala selama 200 tahun ke depan, yaitu waktu yang diperlukan untuk membakar semua batubara yang terkandung di dalam tambang-tambang bawah tanah.
3. Djémila, Aljazair
Albert Camus pernah menuliskan tentang reruntuhan kota Romawi itu sebagai “jerit tangis dari kesedihan dan kekelaman bebatuan di pegunungan, langit, dan kesunyian.”
Menurutnya, penghuni kota terhilang di Aljazair itu hanyalah angin, yang “terus menerus menerjang reruntuhan rumah dan gelanggang yang membentang hingga ke gapura di kuil.”
Kota terabaikan ini tadinya bernama Cuicul, menurut bahasa Berber. Sejak didirikan pada tahun 96 M, kota ini berubah menjadi kota Romawi, Kristen, Vandal, dan Bizantium. Kota ini terletak di dataran sempit yang dikurung oleh ngarai-ngarai dan menjadi contoh bagaimana bangsa Romawi menyesuaikanperencanaan kota dengan kawasan pegunungan.
Faktor-faktor penyebab musnahnya kota ini tetap menjadi misteri, namun demikian patung-patung rusak, bukti adanya api, dan raibnya logam mulia menimbulkan dugaan adanya penjarahan oleh para penyerbu.
Walaupun bernasib buruk, keindahan arsitektur kota menjadi alasan kaum Muslim pada Abad ke-7 mengganti namanya menjadi Djamila, artinya “adil” dan mereka tidak membangun apapun demi menghormatinya.
Tapi sekarang ini para ahli sejarah sedang berjuang menghadapi gangguan baru, yaitu festival musik tahunan yang berlangsung di antara reruntuhan.
4. Prora, Jerman
Berderet-deret apartemen kosong membentang sepanjang pantai Rügen, yaitu sebuah pulau milik Jerman di lautan Baltik. Ini semua adalah sisa-sia dari “Colossus of Prora”, yaitu sebuah tempat liburan impian para pejabat Hitler.
Seharusnya tempat itu menjadi resor terbesar sedunia yang menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya. Kenyataannya, tidak ada seorang pun yang berlibur ke sana.
Rencana aslinya mencakup sejumlah kolam renang, sinema, dan restoran. Lalu ada pengeras suara di setiap ruangan untuk menyebarkan propaganda kepada para penghuni.
Pembangunannya tersendat pada awal Perang Dunia II dan resor ini malah dijadikan rumah sakit militer pada 1944. Sekarang ini, reruntuhannya memancarkan kepedihan, dengan balok-balok beton berlubang -- yang diniatkan sebagai rangka jendela, dikelilingi semak belukar yang tidak pernah dipangkas.
Ada sejumlah rencana untuk membangun kembali suatu resor pantai di sana, tapi dengan pertanyaan yang menggelayut. Apakah Prora sanggup melepaskan diri dari masalah masa lalu, atau kah latar belakang kaitan dengan Nazi itu malah membebani masa depannya?
5. Shi Cheng, Tiongkok
Pada 1959, pihak berwenang di Tiongkok menyelesaikan pembangunan PLTA di tepi sungai Xin’an.
Untuk menjadi penampungnya, mereka menciptakan danau buatan bernama danau Qiandao (Pulau Seribu) di kaki gunung Wu Shi. Ada dua kota purba, He Cheng dan Shi Cheng, yang dibangun pada masa wangsa Han dan Tang. Kota-kota megah ini, beserta dengan sejumlah kota dan desa modern, harus direndam. Sekitar 300.000 warga harus diungsikan.
Tidak terdengar apapun selama 40 tahun hingga akhirnya pada 2001 ada sekelompok penyelam yang berkelana di air yang jernih. Mereka seakan menemukan Atlantis yang hilang. Dua kota itu terawetkan di bawah air.
Secara khusus, Shi Cheng berada dalam keadaan yang baik, dengan patung-patung dan ukiran-ukiran hewan dan bunga. Sekarang, tempat itu menjadi salah satu tempat menyelam yang terkenal sedunia.
Pemerintah sedang mencari cara untuk melestarikan keindahan yang telah terbenam itu. Dengan demikian, aturan penyelaman menjadi semakin ketat. Para penyelam harus didampingi.
6. Mandu, India
Salah satu kota purba terbesar India terletak di sisi pegunungan Vindhya. Tempatnya terlalu terpencil bagi orang asing atau wisatawan.
Tapi, bagi warga India, reruntuhan Mandu terkenal sebagai tempat yang dipenuhi kisah cinta antara Baz Bahadur, seorang pangeran Muslim, dan Rupmati, seorang wanita gembala Hindu. Mereka saling mencintai dan sang pangeran membangun istana megah bagi kekasihnya. Istana itu menghadap ke lembah di mana sang pangeran dilahirkan.
Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Sultan Akbar dar Moghul menduduki istana itu sehingga sang pangeran mengungsi dan meninggalkan haremnya. Rupmati kemudian meracuni dirinya sendiri supaya tidak ditawan oleh para penyerbu.
Sekarang, ruang tempat dua kekasih itu memandang ke lembah menjadi tempat yang menarik bagi para sejoli masa kini.